google-site-verification=UZOJzgQVIWen0hhmMkzbFt_zhpkperI9dij4XvLIaW8 Kumpulan Puisi karya "Sutejo J" google-site-verification=UZOJzgQVIWen0hhmMkzbFt_zhpkperI9dij4XvLIaW8 google-site-verification=UZOJzgQVIWen0hhmMkzbFt_zhpkperI9dij4XvLIaW8

01 Mei 2010

Home » » Kumpulan Puisi karya "Sutejo J"

Kumpulan Puisi karya "Sutejo J"

Kembang Kacang
huruf-huruf berloncatan sore ini
di mataku yang terhujam rindu
setelah berhari bertarung
dengan beku dan letih sendiri
tadi hanya sempat kukirim salam
sembari mencoba simpan diam
yang tiba-tiba menghampiri
seperti lirik lagu jawa kesukaanmu
‘aku suka lagu ini’, katamu
saat ‘kembang kacang’ memecah siang
sedang anakmu hanya menahan gemetar
menghitung duka yang tertebar
sejanak kita teringat cerita lama
tentang tangisan anak kecil
yang merengek mainan dari kayu
lalu tertawa seolah duka itu sekejap saja
perlahan kuhitung satu demi satu
tetes rindu padamu, ibu
Selasa Untukmu
embun itu masih ada di jendela
saat kutuliskan namamu
dengan ucapan yang sama
seperti tahun lalu
tapi kau tak akan membaca
karena siapa aku juga samar
meski telah kudengar lamat
bisikmu bertanya tentang nama
berpuluh musim kulewati
dengan sepi menyapa sunyi
yang tak sempat kutulis jadi puisi
dan di situ terselip dirimu
terus kutulis di situ
sambil tak henti berucap
dalam kata yang senyap
sembari kubiarkan kering airmata

Tanya
dulu aku tak ingin bertanya
tentang apa yang mestinya jadi milikku
tentang apa yang seharusnya kumiliki
ketika aku berdoa
hanya airmata yang berbicara
ketika aku bersujud
hanya keperihan yang terwujud
bukankah yang telah kudapat harusnya lekat?
bukankah yang tersurat mestinya kudekap erat?
kini aku ingin bertanya
berapa banyak tamparan bagi dosa tertebar
berapa dalam luka untuk sesal terkapar
pertanyaanku membentur batu
airmataku makin membeku
malam,

Mengail Kata
di tepi danau penyair melempar pancing
mata kailnya telah diberi abjad
berharap ada kata yang tersangkut
akan ditatanya agar urut
lama tak dibuatnya sajak
usai hari demi hari gemertak
air beriak sejenak
senyap tetap tergeletak
wajahnya tetap melukis sepi
seperti sapa pada dedaunan itu
berbatang rokok sia-sia
rindu tinggal beku
lelaki itu lepaskan tawa
sembari benahi kusutnya cinta
hari makin lirih
bertambah satu senja lagi
“mengail kata ternyata tak mudah
dalam [...]

Embun Untukmu
sudah kurajut waktu buatmu
datang bersimpuh dan berteduh
seperti dulu saat kanak-kanak
seperti dulu saat menyapa esok
yang ternyata penuh peluh dan keluh
ada embun yang kurebut dari pagi
untuk kuusapkan di kakimu yang tua
sambil kudengarkan lagi cerita
tentang ceriamu yang telah pergi
sudah kutata juga banyak kata
tentang puisi yang selalu menemani
saat sepi menyapa dan tawa menerpa
tapi aku dibelit ragu
kau akan menerima serpihan [...]

Dua Belas
tak lagi akan dinikmati
saat tawa menjelma sepi
sedang sapa tinggal sesekali saja
usai waktu memberi batas tegas
di tengah riuh pernah terlahir puisi
tentang hari yang menghitung perih
tentang tawa yang sebenarnya isak
hingga penyair berhenti menjala kata
tentang apa yang sebenarnya terjadi
puisi juga enggan mengerti
karena batasan hati tak bertepi
dengan sedih tersimpan diam
dengan tawa tergenggam malam
tak lagi akan disesapi
gurau yang [...]

Akan Tiba
seharusnya aku di tepianmu
sekedar menemani hari yang lelah
kau menghitung tetesan hujan
aku menatap sisa sore di mata itu
mungkin tak kau rasakan
ada kesedihan yang diam
saat kau mengunyah sakit
aku tak bisa sentuh ujung rambutmu
perih ini terasa menggigit
seharusnya aku segera tiba
membawa kelopak mawar
yang baru saja mekar
embun terus menyirami
sembari kita hitung perginya hari
nantinya akan tiba
aku ada di tepian itu
bersamamu menghitung [...]

Pinta

belum terlalu lama sebenarnya
wakitu ini memenjarakan
kau hitung detak dalam detik
kuhitung bulan begitu cepat jadi rintik
“aku akan mengeja sendiri
beberapa puisi yang lama kusimpan” katamu
sambil meletakkan potongan malam
yang kubiarkan membisu diam
pinta yang tak biasa
dengan mendesak dan segera
membuatku hanya terkulai
tanpa sempat tangan melambai
saat kini kau merajut pelangi
kunikmati tetas-tetas sepi
yang begitu lirih

Senja Tanpa Judul

Aku tidak bisa mematahkan kalimatmu,
atau membantah takdirku..
Tapi kau mengetahui keseluruhanku,
hanya ada di dalammu.


: Puisi di Hari yang Aneh :

Mimpi di kotak suara,
diam tanpa hembusan nafas.
Terlahir tanpa simbiois mutualisme,
terbentuk karna desakan waktu.
Tidak ada selamat pagi,
tanpa tidur yang terusik.
Tidak ada akhir kalimat,
sepanjang masa panen koma.

Dongeng Ibukota

Adalah satu dongeng sederhana yang mematikan lampu-lampu di kamar tidurku,
menyulap pintu lemari jadi pintu gerbang kastil yang kokoh,
begitu megah dan tak tersentuh, mirip gedung-gedung tinggi ibukota,
yang membuatku silau bukan hanya karna kaca-kacanya,
tapi begitu banyak ambisi dan kesombongan,
mengutamakan kantong pribadi dan menenggelamkan kata rakyat,
yang seharusnya satu, yang seharusnya utama,
atau paling tidak diusahakan pertama.

Adalah satu dongeng sederhana yang menidurkan anak-anak bangsa,
dengan kelelahan mata dan jari akibat games elektronik,
melupakan lompat karet, gangsing, petak umpet,
membenci aktivitas outdoor dan mencintai keautisannya,
bukannya belajar berkawan, lebih suka melawan,
sama seperti suara-suara mereka yang berdemo,
satu stereo, tapi tak betul-betul mengerti maknanya,
bukankah komunikator yang salah bila pesan tak sampai.

Adalah satu dongeng sederhana yang membius kita semua,
mnghadirkan sejuta tanda tanya, ada apa setelah ini dan itu,
sehingga mau tak mau, semua turut serta,
membunuh pagi dan siang, menghapus sore hari,
supaya jutaaan tanda tanya tak beranak pinak,
atau jangan-jangan walau dipotong dengan pedang Lancelot,
tumbuh kembali seperti ekor cicak,
atau lebih parah cacing tanah yang mengganda.

Marilah kita lari pada malam,
begitu nyaman rasanya dalam gelap,
supaya siapa saja dapat mendongeng,
ganti-berganti menjadi pelaku dan korban.

Para pendengar selamat datang!
Setelah cuci tangan kaki dan sikat gigi,
layar panggung kembali terangkat,
untuk sebuah dongeng sederhana

Rumahku Nanti

Rumahku,
bukan sebuah bangunan megah,
bukan pula sekumpulan orang berpakaian mewah..

Rumahku,
adalah sebuah sinar yang hangat,
namun menyejukkan..

Memberiku petunjuk seperti bintang di langit yang gelap,
menuntunku pulang tepat pada tiap langkah,
menyambutku dengan sebuah rengkuhan.

Rumahku,
adalah tempatku berpulang.
Suatu hari nanti.

Dan sekarang hanyalah fatamorgana,
yang riuh rendahnya kadang memekikkan telinga.

Perjalanan Rindu Antar Kota

aku benci merindukanmu
sambil menyetir sepanjang jalan tol
di bawah jejeran lampu yang sengaja dipadamkan
sekedar untuk penghematan
tanpa memikirkan keselamatan jiwa
hei malam ini saatnya rasa
perduli setan dengan nyawa

aku masih benci merindukanmu
dan selalu gatal untuk bertanya
adakah kau disana
di ujung jalan tol
yang sepertinya mulai terang
setelah berbelas kilometer
dan beberapa kelokan tajam?

aku makin benci merindukanmu
ternyata hanya gardu tol
dengan petugas tol bermuka kantuk
dan tangan yang terulur malas
dua puluh ribu sekian untuk antar kota katanya
memangnya aku ini supir bus
pakai instilah antar kota

itu itu yang buatku benci
bukan sekedar kesal
apalagi aku kembali sendiri
di tengah kota ini
masih saja bodoh untuk merindukanmu
mungkin baru selesai kalau lampu kota ikut dipadamkan..


Siang yang Pecah

aku masih teringat siang itu
tidak ada yang bergerak
hanya alis dan keruh mata bercerita
semuanya diam
mungkin kita lupa bernafas
tapi bagaimana hati ini
degupnya mendominasi kebisuan

siang yang nahas itu
mana kutahu kau akan begitu
raut mukamu terlihat kaku
seperti awal kita bertemu

hari ini juga aku berhenti
melepas cinta di ujung lensa
menuang warna di klise film
katamu pecah

tidak mau lagi mengabadikan momen
kalau harus melihatmu begitu menawan
tapi jatuh di tangan lawan

aku masih teringat siang itu
mataku panas
mungkin aku yang harus berhenti
membuatmu gila seperti ini


Nada Cerita Lama

Sebuah buku, dengan lembar-lembar yang menua,
warna kuning menyatakan usianya.

Hanya saja aku tak pernah kesulitan membacanya,
walau kata-kata yang memudar selalu melemahkan akalku.

Aku masih tertawa karna gurauan yang sama,
dengan ujung halaman terlipat,
bercak disana-sini.

Aku masih menangis pada titik koma yang sama,
bukan serupa tapi lagi-lagi sama.

Cerita yang itu-itu saja,
menjadi tempatku mereka ulang petaka,
sembari sesekali mengaku dosa.

Tengah Agustus

Waktu lebih giat dari usia.
Di suatu senja merah dadu,
dengan bahagia aku berhenti menua,
karna telah hidup bersamamu.

Related Post



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentar anda di sini

Related Posts with Thumbnails
Loading